SYARIFUDDIN CIREBON: 2010

Laman

Minggu, 29 Agustus 2010

PERBEDAAN PENDAPAT DI ANTARA ULAMA AHLUSSUNNAH, TAPI MEREKA TIDAK SALING MENCELA

Oleh
Abu Abdil Muhsin Firanda Ibnu Abidin (www.almanhaj.or.id)
bedaBerikut ini adalah beberapa contoh khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama Ahlus Sunnah akan tetapi mereka tidak saling mengingkari. Namun mereka berusaha menjelaskan pendapat yang paling benar menurut mereka, tanpa adanya sikap saling menjatuhkan, terlebih lagi saling tahdzir, hajr, apalagi tabdi.

[1]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baaz rahimahumallah mengenai boleh tidaknya tentara Amerika berpangkalan di Arab Saudi untuk menghancurkan Irak. Syaikh Ali bin Hasan menjelaskan bahwa khilaf ini bukanlah khilaf yang biasa-biasa saja, namun merupakan khilaf yang nyata. Meskipun demikian mereka tetap tidak saling hajr [1]. Padahal jika kita perhatikan, khilaf ini berkaitan dengan keselamatan orang banyak dan berkaitan dengan masa depan negeri Saudi. Keduanya saling mempertahankan pendapat, tetapi mereka tetap saling mencintai dan saling menghormati.

[2]. Khilaf antara Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Al-Albani rahimahumallah mengenai masalah sedekap setelah ruku’ (ketika i’tidal). Syaikh Al-Albani memandang hal ini merupakan bid’ah. Sebaliknya Syaikh Ibnu Baaz memandang bahwa hal ini disyari’atkan. Namun apakah Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa orang yang berpendapat seperti pendapat Syaikh Ibnu Baaz adalah ahli bid’ah? Tentu saja tidak. Padahal Syaikh Al-Albani benar-benar meyakini bahwa hal itu merupakan bid’ah. Sedangkan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan tiap kesesatan adalah di Neraka.

Mungkin saja nanti ada orang yang membesar-besarkan masalah ini, lalu menjadikannya sebagai ajang perpecahan, dengan alasan bahwa bid’ah itu berbahaya dan kita tidak boleh meremehkan bid’ah sekecil apapun. Pernyataan tersebut benar jika yang dimaksud adalah bid’ah yang disepakati oleh ara ulama. Adapun bid’ah yang masih diperselisihkan maka pernyataan ini tidak berlaku.

[3]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dengan para ulama Arab Saudi tentang jumlah raka’at shalat Tarawih. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa shalat Tarawih lebih dari 11 raka’at merupakan bid’ah. Namun apakah beliau menyatakan bahwa orang yang menyelisihi beliau adalah mubtadi? Tentu saja tidak. Bahkan beliau berkata, “Kami tidak membid’ahkan dan tidak juga menyesatkan siapa saja yang shalat Tarawih lebih dari sebelas raka’at, jika tidak jelas baginya Sunnah dan dia tidak mengikuti hawa nafsunya’ [2]

Beliau juga berkata, ‘Janganlah seorang menyangka bahwa jika kami memilih pendapat (wajibnya) mencukupkan bilangan raka’at Tarawih sesuai Sunnah (yaitu sebelas raka’at) dan tidak boleh manambah bilangan tersebut, berarti kami telah menyesatkan atau membid’ahkan mereka yang tidak berpendapat demikian dari para ulama, baik ulama yang dahulu maupun yang akan datang sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang, sehingga menjadikan hal ini sebagai kesempatan untuk mencela kami. Mereka menyangka bahwa pendapat kami tentang tidak dibolehkan atau bid’ahnya suatu perkara melazimkan bahwa siapa saja yang berpendapat bolehnya atau disunnahkannya perkara tersebut sebagai ahli bid’ah yang sesat. Sama sekali tidak melazimkan demikian. Ini adalah persangkaan yang bathil dan kebodohan yang sangat. Sesungguhnya yang dicela adalah para ahli bid’ah yang menghalangi tersebarnya sunnah dan menganggap baik seluruh bid’ah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab yang memberi penjelasan, bahkan tanpa taqlid terhadap para ulama, namun hanya sekedar mengikuti hawa nafsu dan mencari pujian orang awam.[3]

Beliau juga berkata : “Karena itu, kita lihat meskipun para ulama berselisih pendapat sescara sengit pada sejumlah masalah namun mereka tidak saling menyesatkan dan tidak juga saling membid’ahkan satu sama lain. Satu contoh dalam hal ini, para ulama telah berselisih pendapat (bahkan) sejak zaman para sahabat tentang masalah menyempurnakan shalat wajib (empat raka’at) ketika safar. Di antara mereka ada yang membolehkan, sedangkan sebagian yang lain melarangnya dan memandang bahwa hal itu adalah bid’ah yang menyelisihi Sunnah. Meskipun demikian ternyata mereka tidak membid’ahkan orang yang menyelisihi pendapat mereka. Lihatlah Ibnu Umar, beliau berkata, ‘Shalat musafir dua raka’at, barangsiapa yang menyelisihi Sunnah maka telah kafir’. (Sebagaimana diriwayatkan oleh As-Sarraj dalam Musnad-nya XXI/122-123, dengan dua isnad yang shahih dari Ibnu Umar). Meskipun demikian Ibnu Umar tidak mengkafirkan juga tidak menyesatkan orang-orang yang menyelisihi Sunnah disebabkan ijtihadnya. Bahkan, tatkala beliau shalat di belakang imam yang memandang menyempurnakan shalat (empat rakaat), maka beliau pun ikut menyempurnakan shalat bersama imam tersebut. As-Sarraj juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Mina dua raka’at, begitu juga Abu Bakar, Umar dan Utsman di awal masa pemerintahan beliau. Setelah itu Utsman shalat empat raka’at, dan jika beliau shalat sendirian maka beliau shalat dua raka’at.

Perhatikanlah, bagaimana keyakinan Ibnu Umar terhadap kesalahan orang yang menyelisihi Sunnah yang shahih –dengan menyempurnakan shalat empat raka’at- tidak menjadikan beliau menyesatkannya atau membid’ahkannya. Bahkan beliau shalat di belakang Utsman. Sebab, berliau tahu bahwa Utsman tidaklah menyempurnakan shalat empat raka’at karena mengikuti hawa nafsu namun beliau melakukan demikian karena ijitihad beliau.

Inilah jalan tengah yang menurut kami harus ditempuh oleh kaum muslimin untuk memperoleh solusi dari perbedaan pedapat yang timbul diantara mereka yaitu masing-masing menampakkan pendapatnya yang menurutnya benar dan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan syarat tidak menyesatkan atau membid’ahkan orang yang tidak sesuai dengan pendapatnya tersebut..”[4]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata :”Diriwayatkan dari Salafus Shalih jumlah bilangan raka’at Tarawih yang beraneka ragam –dalam masalah ini-, sebagaimana perkataan Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah, maka lapang bagi kita apa yang lapang bagi mereka. Kita telah didahulukan oleh mereka, maka tidak semestinya kita bersikap keras” [5]

Beliau juga berkata, “Ketahuilah, bahwasanya khilaf tentang jumlah bilangan raka’at shalat Tarawih -dan yang semisalnya, yang termasuk perkara-perkara yang dibolehkan ijitihad di dalamnya- hendaknya tidak dijadikan ajang perselisihan dan perpecahan umat. Terlebih lagi jika Salaf berbeda pendapat pada masalah ini. Tidak ada satu dalil pun yang melarang berlakunya ijtihad dalam perkara ini” [6]

[4]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dengan para Ulama Arab Saudi –di antaranya Syaikh Ibnu Baaz- tentang hukum jual beli kredit dengan harga yang berbeda dari harga kontan. [7]. Menurut Syaikh Al-Albani hal itu adalah riba, namun apakah Syaikh Al-Albani men-tahdzir dan meng-hajr para ulama Arab Saudi dengan alasan bahwa mereka membolehkan riba, dan orang yang membolehkan riba terlaknat sebagaimana dalam hadits? Tentu tidak, karena ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah.

[5]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil mengenai Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Syaikh Muqbil menyatakan bahwa Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berada di atas kesesatan. [8] Hal ini tidak disetujui oleh Syaikh Al-Albani, dan beliau berkomentar, “Aku rasa ini adalah pensifatan yang terlalu luas dan tidak pada tempatnya, yaitu dalam memutlakkan sifat dhalal (kesesatan) kepada seperti orang ini (Muhammad Rasyid Ridha). Menurut keyakinan saya, beliau memiliki jasa terhadap banyak Ahlus Sunnah di zaman ini. Karena beliau menyebarkan dan menyeru kepada As-Sunnah dalam majalan beliau yang terkenal, Al-Manar. Bahkan pengaruhnya sampai di banyak negeri kaum muslimin non-Arab. Oleh karena itu, pendapat saya, perkataan ini adalah perkataan yang ghuluw (berlebihan) yang semestinya tidak terlontarkan dari orang seperti saudara kita, Muqbil.

Bagaimanapun juga (sebagaimana perkataan penyair):
Engkau menghendaki seorang teman yang tidak ada aibnya,
Maka dapatkan kayu gaharu mengeluarkan wangi tanpa asap..?

Meski demikian, Syaikh Al-Albani sendiri menyatakan bahwa masalah ini adalah masalah ijtihadiyyah. [9]

[6]. Khilaf antara Syaikh Muqbil dan hampir seluruh Syaikh kibar –bahkan mungkinh dapat dikatakan seluruh Syaikh Salafiyyun- [10] dalam masalah menghukumi Abu Hanifah. Hampir seluruh Syaikh tersebut menyatakan bahwa Abu Hanifah merupakan salah satu Imam dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena itulah madzhab beliau termasuk madzhab yang diakui sejak dahulu, berbeda dengan pendapat Syaikh Muqbil. [11]

[7]. Khilaf antara Syaikh DR Muhammad bin Hadi dan Prof. DR Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Abbad. Syaikh Muhammad bin Hadi menganggap bahwa Yayasan At-Turats Kuwait adalah yayasan hizbiyyah dan beliau mentahdzir yayasan ini. Sedangkan Syaikh Abdurrazzaq sendiri bermu’amalah dengan yayasan tersebut. Lantas bagaimanakah sikap Syaikh Muhammad bin Hadi terhadap Syaikh Abdurrazzaq ? Apakah mereka saling hajr dan meninggalkan salam? Justru sebaliknya. Jika bertemu mereka saling berpelukan. Hal ini menunjukkan rasa cinta dan saling memahami di antara keduanya. Bahkan, meskipun Syaikh Muhammad berpendapat bahwa Syaikh Abdurrazzaq telah melakukan kesalahan, namun apa kata beliau? Beliau berkata, “Aku dan Syaikh Abdurrazzaq seperti tangan yang satu, bahkan jari yang satu” [12]

Masih banyak contoh-contoh yang lain. Namun cukuplah apa yang kami sebutkan kali ini menjadi pelajaran. Tatkala dua orang yang berselisih saling memahami bahwa keduanya sama-sama menginginkan Sunnah, sama-sama menginginkan kebenaran, maka perkaranya akan jadi lebih ringan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Sungguh indah perkataan seorang ulama kepada orang yang menyelisihinya dalam perkara yang dibolehkan ijtihad, “Engkau dengan penyelisihanmu kepadaku sesungguhnya telah sepakat denganku, yaitu kita berdua sama-sama memandang wajibnya mengikuti ijtihad yang benar dalam masalah yang masih dibolehkan ijtihad’ [13]

Dan sungguh indah ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullah ;
“Khilaf yang terjadi di antara kita adalah khilaf yang menggabungkan dan tidak menceraiberaikan, berbeda dengan khilafnya orang lain”

Setiap orang boleh mengucapkan pendapatnya, tidak ada halangan, selama masih dalam batasan penuh adab, tanpa celaan, cercaan dan seterusnya.

“Dan bagi masing-masing ada kiblatnya yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam) kebaikan” [Al-Baqarah : 148] [14]

[Dinukil dari buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan Menyikapi Fenomena Hajr Di Indonesia, Fasal Kesimpulan Kesepuluh Tidak Ada Hajr Dalam Perkara Debatable, Penulis Abu Abdil Muhsin Firanda Ibnu Abidin, Penerbii Pustaka Cahaya Islam, Cetakan Ke-2 Rajab 1427H/Agustus 2006]
__________
Foote Note

[1]. Sebagaimana yang kami dengar dari ceramah beliau di salah satu hotel di Makkah pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan tahun 2003.
[2]. Shalaatut Taarawih, hal. 106
[3]. Ibid, hal. 35-36
[4]. Ibid, hal. 37-38
[5]. Lihat Majmu Fataawa (XIV/208)
[6]. Majmu’ Fataawa (XIV/189)
[7]. Perhatikanlah, sungguh ajaib akhlak kedua ulama besar Ahlus Sunnah tersebut. Keduanya berselisih dalam banyak permasalahan yang sebagiannya bukanlah masalah ringan. Masalah-masalah tersebut bahkan terkadang terjadi berulang-ulang. Namun keduanya sama sekali tidak saling menjatuhkan, bahkan keduanya saling mencintai dan saling menghormati. Itulah akhlak para ulama kita. Bahkan Syaikh Ibnu Baaz memuji Syaikh Al-Albani bahwa beliau adalah mujaddid (reformis) abad ini. (Silahkan merujuk kepada Silsilah Al-Huda wa Nuur, kaset no. 725)
Demikian pula dengan Syaikh Ibnu Utsaimin yang sering menyelisihi Syaikh Al-Albani dalam masalah-masalah ijtihadiyyah. Meskipun demikian beliau pernah berkata “Syaikh Al-Albani adalah ahli hadits abad ini” (Perhatikan Silsilah Al-Huda wa Nuur, kaset no. 880)
Adapun “sebagian orang”, terkadang disebabkan satu masalah saja yang diperselisihkan –padahal masalah tersebut bukanlah masalah yang berat dan terkadang merupakan masalah dunia, bukan permasalahan agama- maka mereka jadikan alasan untuk saling menjauhi, saling menjatuhan, saling mencerca saling men-tahdzir dan saling hajir, dan seterusnya. Wallahul Musta’aan.
[8]. Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muqbil dalam muqaddimah Ash-Shahiih Al-Musnad min Dalaa-ilin Nubuwwah (hal.10), juga penjelasan beliau secara panjang lebar dalam kitab beliau Ruduud Ahlil Ilmu Alath Thaa’iniin fii Hadits As-Sihr waa Bayaan bu’d Muhammad Rasyid Ridha ‘an As-Salafiyah.
[9]. Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no. 32
Namun penyelisihan Syaikh Al-Albani terhadap sikap Syaikh Muqbil tidaklah mengubah kecintaan beliau terhadap Syaikh Muqbil. Dalam ceramahnya, Syaikh Al-Albani memuji dan bahkan membela Syaikh Muqbil dari orang-orang yang mengkritik dan mencela Syaikh Muqbil (Perhatikan Silsilah Al-Huda wa Nuur, kaset no. 851). Adapun pujian Syaikh Muqbil terhadap Syaikh Al-Albani maka sangatlah banyak. Semoga Allah merahmati keduanya dengan rahmat yang luas. Sebagai contoh sikap saling puji antara Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil maka silakan mendengar Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no. 850).
[10]. Seperti Syaikh Al-Albani –perhatikanlah munaqasyah Syaikh Al-Albani terhadap dalil yang disebutkan oleh Syaikh Muqbil dalam Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no. 56) –Syaikh Ibnu Utsaimin- lihat nukilan fatwa beliau dibawah ini- Syaikh Ibnu Baaz, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz Alusy Syaikh, Shalih Alusy Syaikh dan lain-lain. Bahkan saat ini penulis belum menemukan seorangpun dari kalangan ulama Ahlus Sunnah zaman ini yang mendukung pendapat Syaikh Muqbil dalam hal ini. Wallahu a’lam
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya, “Syaikh yang mulia, kami adalah saudara-saudara Anda di Indonesia. Kami mencintai anda karena Allah. Kami mengikuti kabar tentang anda dan juga fatwa-fatwa anda. Kami mendapatkan banyak faedah dari ilmu anda, melalui buku dan kaset anda. Pada kesempatan ini, kami meminta fatwa kepada anda tentang sebuah tulisan yang ditulis oleh seorang da’i pada sebuah majalan di Indonesia yang bernama Majalah Salafy (edisi 20 tahun 1418H/1997M, dan edisi 29 tahun 1999M –pen). Da’i tersebut berkata, “Ahlur ra’yi adalah pemikir yang lebih banyak berdalil dengan qiyas dibandingkan berdalil dengan Al-Qur’an dan hadits. Imam mereka adalah Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit ... dst” [Silahkan merujuk kepada Kitaabul Ilm, hal 304-305].
Maka Syaikh menjawab, “Sikap yang benar terhadap para imam yang memiliki para pengikut yang mempersaksikan adalah (keshalihah) dan istiqomah mereka adalah kita tidak menyerang mereka dan kita meyakini bahwa kesalahan yang timbul dari mereka merupakan hasil dari ijtihad mereka. Seorang mujtahid dari umat ini pasti mendapatkan pahala. Jika ijtihad-nya benar maka ia akan mendapatkan dua pahala, dan jika keliru, maka akan mendapatkan satu pahala serta kesahalahnnya diampuni.
Dan Abu Hanifah rahimahullaah adalah seperti para imam lainnya yang memiliki kesalahan-kesalahan dan juga memiliki kebenaran-kebenaran. Tidak seorangpun yang ma’shum melainkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana perkataan Imam Malik, “Setiap orang dapat diambil pendapatnya dan ditolak kecuali penghuni kubur ini”, sambil memberi isyarat kepada kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang wajib dilakukan adalah menahan diri dari (mencela) para imam kaum muslimin. Namun jika sebuah pendapat merupakan kesalahan, maka hendaknya disebutkan (kesalahan) pendapat tersebut tanpa mecela pengucapannya. Hendaknya seseorang menyebutkan pendapat yang keliru tersebut kemudian menyanggahnya. Inilah jalan yang selamat” [Lihat Kitaabul Ilm hal. 304-306]
[11]. Lihat buku beliau yang berjudul Nasyr Ash-Shahifah fi Dzikris Shahih min Aqwaal A-immatil Jarh wat Ta’diil fii Abi Hanifah.
[12]. Pernyataan beliau ini didengar oleh mahasiswa Universitas Islam Madinah –di antara mereka adalah penulis sendiri-, di kediaman beliau pada tahun 2004. Hal ini sungguh berbeda dengan tindakan sebagian saudara-saudara kita yang menyelisihi sikap para Syaikh dalam men-tahdzir Yayasan Ihya At-Turats. Karena itu, kita dapati bahwa Syaikh Rabi sendiri tidak pernah men-tahdzir ulama Ahlus Sunnah lain yang membolehkan mu’amalah dengan Yayasan Ihya At-Turats.
Peringatan:
Sebagaimana halnya orang-orang yang berpegang dengan fatwa para ulama besar dalam bermu’amalah dengan Yayasan tersebut mengharapkan para saudaranya memahami bahwa ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah yang tidak boleh disikapi berlebih-lebihan sampai pada tingkataan hajr, maka mereka pun harus berlapang dada jika saudara-saudara mereka megkritik dengan cara yang baik dan tidak berlebih-lebihan –tanpa tahdzir dan hajr-. Sebab saudara-saudara mereka pun melakukan hal tersebut karena mengikuti pendapat para ulama yang telah diakui secara integritas dan kompetensi –seperti Syaikh Rabi dan Syaikh Muqbil-. Lihatlah bagaimana Syaikh Abdurrazzaq Al-Abbad berlapang dada menerima kritik Syaikh Muhammad bin Hadi. Apalagi telah jelas ada kesalahan-kesalahan yang terdapat di yayasan tersebut yang berkaitan dengan manhaj maka sikap kehati-hatian tetap perlu diperhatikan. Wallahu a’lam
[13]. Majmuu Fatawa karya Syaikh Ibnu Utsaimin (XIV/189)
[14]. Silsilah Al-Huda wan Nuur (kaset no. 880) tatkala Syaikh Al-Albani menceritakan khilaf antara beliau dan Syaikh Sindi Al-Pakistani

Rabu, 18 Agustus 2010

HUKUM HORMAT BENDERA DAN HORMAT ALA MILITER

Hukum Perhormatan ala Tentara dan Hormat Bendera
السؤال : أنا من بلدٍ ، الوظائف فيها قليلة ، وأنا شهادتي ثانوية لا تسمح لي بالحصول على وظيفة أخرى , ولكنني حصلت على وظيفة في المؤسسة العسكرية , لكن هناك أمر ، وهو ضرب التحية ، هذا واجب في المؤسسة العسكرية , فهل يجوز لي العمل في هذه المؤسسة ؟
Pertanyaan, “Aku berasal dari sebuah negeri yang lapangan pekerjaan di sana sangat terbatas. Aku bekerja sebagai tentara. Karena aku hanya tamatan SMU maka aku tidak mungkin mendapatkan pekerjaan yang lain. Akan tetapi ada hal yang mengganjal di hati yaitu masalah penghormatan ala militer. Ini adalah sebuah kewajiban dalam dunia militer. Atas pertimbangan adanya hal tersebut apakah aku boleh bekerja di sana?
ولكن عند ضرب التحية لا أضربها بقصد التعظيم , بل أقوم بها كنوع من التورية , هل يجوز ذلك ؟ أرجو الرد على سؤالي بتفصيل تام لأنني سأتوظف بعد شهرين .
Akan tetapi ketika acara ‘penghormatan’, aku tidak memberikan penghormatan dalam rangka memberikan pengagungan namun aku hanya pura-pura saja. Apakah solusi yang kulakukan itu boleh dilakukan? Aku berharap jawaban pertanyaanku adalah jawaban yang rinci dan lengkap karena karena dua bulan lagi aku akan resmi bekerja sebagai tentara.
الجواب :
الحمد لله
التحية العسكرية التي تكون بين الجنود بعضهم البعض ، وتكون بالإشارة باليد ، هي تحية منهي عنها شرعاً ، وإنما تحية المسلمين تكون بقول : السلام عليكم .
Jawaban, “Penghormatan ala militer yang dilakukan terhadap sesama tentara dengan menggunakan isyarat tangan adalah cara memberi penghormatan yang terlarang dalam syariat. Cara memberi penghormatan di antara sesama kaum muslimin adalah dengan ucapan “assalamu’alaikum
روى الترمذي (695) عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا ، لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ ، وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفّ ) وحسنه الألباني في صحيح الترمذي .
Diriwayatkan oleh Tirmidzi no 695 dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah bagian dari kaum muslimin orang-orang yang menyerupai orang-orang kafir. Janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi ataupun Nasrani. Sesungguhnya penghormatan ala Yahudi adalah isyarat dengan jari jemari sedangkan penghormatan ala Nasrani adalah isyarat dengan telapak tangan”. Hadits ini dinilai hasan oleh al Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi.
وعن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ( لا تسلموا تسليم اليهود ، فإن تسليمهم بالرؤوس والأكف والإشارة ) رواه النسائي “في عمل اليوم والليلة” (340) وأبو يعلى والطبراني في “الأوسط” وقال الحافظ في “الفتح” (11/12) : إسناده جيد ، وحسنه الألباني في “السلسلة الصحيحة” (1783) .
Dari Jabir bin Abdillah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memberikan penghormatan ala Yahudi. Sesungguhnya penghormatan ala Yahudi adalah dengan isyarat dengan kepala dan telapak tangan” (HR Nasai dalam ‘Amal al Yaum wa al Lailah no 340. Abu Ya’la dan Thabrani dalam al Ausath. Dalam Fathul Bari 11/12 al Hafiz Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanadnya adalah berkualitas jayyid. Hadits di atas juga dinilai hasan oleh al Albani dalam Silsilah Shahihah no 1783).
وأما تحية العلم فهي بدعة محدثة ، لا يجوز المشاركة فيها ، في الجيش أو المدرسة أو غيرها كما بين أهل العلم .
Sedangkan memberikan penghormatan kepada bendera adalah amalan yang mengada-ada alias bid’ah. Oleh karenanya, tidak boleh melakukannya baik di lingkungan tentara, di sekolah atau lainnya sebagaimana penjelasan para ulama.
وقد سئل علماء اللجنة الدائمة للإفتاء : هل يجوز الوقوف تعظيما لأي سلام وطني أو علم وطني ؟
Para ulama yang duduk di Lajnah Daimah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apakah diperbolehkan berdiri dalam rangka mengagungkan lagu kebangsaan atau mengagungkan bendera nasional?”
فأجابوا :
” لا يجوز للمسلم القيام إعظاماً لأي علم وطني أو سلام وطني ،
Jawaban para ulama yang duduk di Lajnah Daimah, “Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berdiri dalam rangka mengagungkan bendera nasional ataupun lagu kebangsaan karena beberapa alasan:
بل هو من البدع المنكرة التي لم تكن في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ولا في عهد خلفائه الراشدين رضي الله عنهم ، وهي منافية لكمال التوحيد الواجب وإخلاص التعظيم لله وحده ، وذريعة إلى الشرك ، وفيها مشابهة للكفار وتقليد لهم في عاداتهم القبيحة ومجاراة لهم في غلوهم في رؤسائهم ومراسيمهم ، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن مشابهتهم أو التشبه بهم .
وبالله التوفيق . وصلى الله على نبينا محمد ، وآله وصحبه وسلم ” انتهى .
a. Itu adalah bid’ah yang munkar, tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pula di masa para khulafaur rasyidin.
b. Perbuatan tersebut bertolak belakang dengan kesempurnaan tauhid yang hukumnya wajib yaitu memurnikan pengagungan hanya kepada Allah semata.
c. Perbuatan tersebut adalah sarana menuju kemusyrikan.
d. Dalam perbuatan tersebut terdapat unsur menyerupai orang kafir dan mengekor mereka dalam tradisi mereka yang buruk serta sejalan dengan mereka dalam sikap over mereka terhadap pemimpin dan simbol-simbol mereka padahal Nabi melarang menyerupai orang kafir baik dengan sengaja ataupun tanpa sengaja”.
“فتاوى اللجنة الدائمة” (1/235) .
الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز … الشيخ عبد الرزاق عفيفي … الشيخ عبد الله بن غديان … الشيخ عبد الله بن قعود .
Fatwa di atas terdapat dalam buku Fatawa Lajnah Daimah jilid 1 hal 235. Fatwa di atas ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Abdurrazaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghadayan dan Syaikh Abdullah bin Qaud.
وسئلوا أيضاً (1/236) : ما حكم تحية العلم في الجيش وتعظيم الضباط وحلق اللحية فيه ؟
Di halaman yang lain dari buku Fatawa Lajnah Daimah tepatnya pada jilid 1 hal 236 para ulama yang duduk di Lajnah Daimah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apa hukum hormat bendera ala militer, menghormati komandan dan mencukur habis jenggot yang dilakukan oleh para tentara?”
فأجابوا :
” لا تجوز تحية العلم ، بل هي بدعة محدثة ، وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: ( من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ) رواه البخاري ومسلم
Jawaban Lajnah Daimah, “Tidak diperbolehkan melakukan penghormatan terhadap bendera karena hormat bendera adalah perkara yang mengada-ada alias bid’ah padahal Nabi mengatakan, “Siapa saja yang mengada-ada dalam syariat kami sesuatu yang bukan bagian dari syariat maka amalan baru tersebut tertolak” (HR Bukhari dan Muslim).
وأما تعظيم الضباط باحترامهم وإنزالهم منازلهم فجائز ، أما الغلو في ذلك فممنوع ، سواء كانوا ضباطاً أم غير ضباط .
وبالله التوفيق . وصلى الله على نبينا محمد ، وآله وصحبه وسلم ” انتهى .
Sedangkan menghormati komandan dengan cara penghormatan yang lazim terhadap seorang atasan dan memposisikan mereka pada posisi mereka sebagaimana mestinya adalah suatu hal yang diperbolehkan. Adapun over dalam menghormati manusia adalah terlarang baik dia komandan atau bukan komandan”.
الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز … الشيخ عبد الرزاق عفيفي … الشيخ عبد الله بن غديان … الشيخ عبد الله بن قعود .
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Abdurrazaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdullah bin Qaud.
وسئلوا أيضاً (1/236) : أفيدوني عن حكم من يعمل بالجيش المصري وهذا مصدر رزقه وتفرض عليه نظم الجيش وقوانينه أن يعظم بعضنا بعضا كما تفعله الأعاجم ، وأن نلقي التحية بكيفية ليست بالتي أمرنا بها الله ورسوله ، وأن نعظم علم الدولة ونحكم ونحتكم فيمنا بيننا بشريعة غير شريعة الله – قوانين عسكرية – .
Lajnah Daimah juga ditanya, “Berilah pencerahan kepada kami tentang hukum orang yang bekerja sebagai tentara di negara Mesir. Pekerjaan ini adalah sumber rezekinya. Sistem dan undang-undang kemiliteran mengharuskan orang tersebut untuk memberikan penghormatan kepada sesama tentara sebagaimana cara yang biasa dilakukan oleh orang-orang kafir sehingga kami memberikan penghormatan tidak sebagaimana tata cara yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula, kami harus memberikan penghormatan kepada bendera nasional. Kami juga hanya boleh mengadukan permasalahan dan memutuskan permasalahan yang terjadi di antara kami tidak dengan syariat Allah namun dengan undang-undang kemiliteran”.
فأجابوا :
” لا يجوز تحية العلم ، ويجب الحكم بشريعة الإسلام والتحاكم إليها ، ولا يجوز للمسلم أن يحيي الزعماء أو الرؤساء تحية الأعاجم ، لما ورد من النهي عن التشبه بهم ، ولما في ذلك من الغلو في تعظيمهم .
وبالله التوفيق . وصلى الله على نبينا محمد ، وآله وصحبه وسلم ” انتهى .
Jawaban Lajnah Daimah, “Tidak diperbolehkan menghormati bendera. Wajib hukumnya mengadukan permasalahan dan memutuskan permasalahan berdasarkan syariat Islam. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk memberikan penghormatan kepada pemimpin dengan penghormatan ala orang kafir karena dua alasan: (a) terdapat larangan menyerupai orang kafir (b) penghormatan dengan cara tersebut termasuk sikap berlebihan dalam menghormatan pemimpin”.
الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز … الشيخ عبد الرزاق عفيفي … الشيخ عبد الله بن غديان … الشيخ عبد الله بن قعود .
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Abdurrazaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdullah bin Qaud.
وسئل الشيخ ابن جبرين حفظه الله : ما حكم وضع اليد على الرأس تحية للعلم كما يفعل في المدارس ؟
Syaikh Ibnu Jibrin pernah ditanya, “Apa hukum meletakkan telapak tangan di kepala dalam rangka menghormati bendera sebagaimana yang dilakukan di berbagai sekolah?”
فأجاب :
” نرى أن ذلك بدعة ، وأن تحية المسلمين هي السلام ، فالإشارة باليد تحية النصارى ، كما ورد ، فالإشارة باليد ، أو الإشارة بالرأس ، سلام أو تحية اليهود أو النصارى .
Jawaban beliau, “Kami menilai perbuatan tersebut adalah bid’ah karena penghormatan yang dimiliki oleh kaum muslimin adalah ucapan salam. Isyarat dengan tangan adalah cara memberi penghormatan ala Nasrani sebagaimana yang terdapat dalam hadits. Isyarat dengan menggunakan telapak tangan atau anggukan kepala adalah penghormatan ala Nasrani.
أما تحية المسلم فهي أن يقول : السلام عليكم .. وإن كان المسلم بعيدًا عنك فإن لك أن تشير برأسك مع تلفظك بالسلام ، تقول : السلام عليكم ، وتحرك رأسك ، أو يدك علامة على أنك فطنت له ، وسلمت عليه ، فتجمع بين الأمرين ، السلام الذي هو سنة المسلمين ، والإشارة : التي هي علامة على أنك فطنت وسلمت .
Penghormatan yang diberikan oleh seorang muslim adalah ucapan assalamu’aikum, dst. Jika orang yang hendak kita beri ucapan salam posisinya jauh dari anda maka anda bisa berisyarat dengan kepala sambil mengucapkan salam. Anda ucapkan assalamu’alaikum sambil anda anggukan kepala atau anda gerakkan tangan anda sebagai tanda bahwa anda mengetahui keberadaannya dan mengucapkan salam kepadanya. Artinya anda melakukan dua hal yaitu ucapan salam yang merupakan sunah kaum muslimin dan isyarat yang merupakan tanda bahwa anda mengetahui keberadaannya dan mengucapkan salam kepadanya.
ولا تكون الإشارة هي السلام فقط ؛
Tidak boleh memberikan penghormatan kepada sesama muslim hanya dengan isyarat.
فالتحية للعلم إذا كان العلم هو أحد الأعلام التي تنشر كاللواء ، أو نحوه – فهذا لا يجوز ؛ وذلك لأنه جماد ، والتحية فيها شيء من التعظيم ، والتعظيم لا يجوز للمخلوق ، فما بالك بالجماد الذي لا ينفع ولا يسمع ؟!
Jika yang dimaksud dari hormat bendera adalah sebuah bendera yang sedang berkibar maka penghormatan semacam ini adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan karena bendera adalah benda mati dan dalam penghormatan terdapat unsur mengagungkan. Sedangkan pengagungan tidaklah diperbolehkan untuk makhluk hidup lalu bagaimana lagi dengan benda mati yang tidak bisa memberi manfaat, tidak pula bisa mendengar?
وإذا كان هذا تعبيرًا عن التعظيم لهذا الجماد كان ذلك من الشرك .
Jika cara penghormatan tersebut adalah ekspresi dari pengagungan terhadap benda mati maka hal itu termasuk kemusyrikan.
وإن أراد بالعلم الشخص الذي يحمله ، أو العامل ونحوه .. فتكون التحية بالسلام لا بغيره ” انتهى من “فتاوى الشيخ ابن جبرين” .
Jika yang dimaksud dengan hormat bendera adalah menghormati orang yang membawa bendera atau semisalnya maka cara penghormatan yang benar adalah dengan ucapan salam bukan dengan yang lainnya”. Sekian dari buku Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin.
وسئل الشيخ صالح الفوزان حفظه الله : أنا مدير مدرسة ، وقد أتاني تعميم من إدارة التعليم بوجوب إلقاء تحية العلم والوقوف له وإلقاء النشيد الوطني للطلاب ، فما حكم هذا الفعل ؟ وهل لي أن أطيع ؟
Syaikh Shalih al Fauzan pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Saya adalah seorang kepala sekolah. Saya mendapatkan instruksi dari dinas pendidikan yang isinya mewajibkan sekolah untuk mengadakan acara yang berisi pemberian penghormatan terhadap bendera, berdiri untuk menghormati bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan yang dinyanyikan oleh para siswa. Apa hukum kegiatan semacam ini? Apakah saya diperbolehkan untuk mentaati instruksi di atas?”
فأجاب :
” هذه معصية بلا شك ، والنبي صلى الله عليه وسلم يقول : ( لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق ) فإذا أمكنكم تتخلص منها ولا تحضرها فافعل ” انتهى من “موقع الشيخ على الإنترنت” .
Jawaban beliau, “Tidaklah diragukan bahwa ini adalah perbuatan maksiat sedangkan Nabi mengatakan, ‘Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada sang pencipta’ (HR Ahmad). Jika anda memungkinkan untuk menghindari acara tersebut dan tidak ikut menghadirinya maka lakukanlah”. Fatwa ini terdapat di situs resmi Syaikh Shalih al Fauzan sebagaimana pada link di atas.
وقال الشيخ صالح الفوزان أيضا في الرد على أحد الكتّاب : ” وأما تحية العلم ، فالتحية تأتي بمعنى التعظيم ، ولا تكون تحية التعظيم إلا لله ، كما نقول في تشهدنا في الصلوات : ( التحيات لله ) أي : جميع التعظيمات لله سبحانه ملكاً واستحقاقاً ، فهي تحية تعظيم وليست تحية سلام ، فالله يُحيَّا ولا يسلم عليه ،
Ketika memberikan bantahan kepada seorang penulis, Syaikh Shalih al Fauzan mengatakan, “Tentang hormat bendera maka memberikan tahiyyat atau penghormatan itu memiliki beberapa makna.
(a). Tahiyyah dengan makna pengagungan. Tahiyyat dengan makna pengagungan tidak boleh diberikan kepada selain Allah sebagaimana yang kita ucapkan dalam bacaan tasyahud, ‘Segala tahiyyat itu hanya milik Allah’. Artinya segala bentuk pengagungan hanyalah milik dan hak Allah. Tahiyyat dalam hal ini bermakna pengagungan bukan ucapan salam. Allah itu diagungkan dan tidak diberi ucapan salam.
وتأتي التحية بمعنى السلام الذي ليس فيه تعظيم ، وهذه مشروعة بين المسلمين ،
(b). Tahiyyah dengan makna ucapan salam yang tidak ada di dalamnya unsur pengagungan. Tahiyyat jenis ini disyariatkan di antara sesama muslim.
قال تعالى : ( فَسَلِّمُوا عَلَى أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً ) النور/61 .
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik” (QS an Nur:61).
وقال تعالى : ( وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ) النساء /86
Allah juga berfirman yang artinya, “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)” (QS an Nisa:86).
وقال تعالى عن أهل الجنة : ( تَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلاَمٌ ) ،
Allah berfirman tentang penghuni surga yang artinya, “Penghormatan untuk mereka di dalam surga adalah ucapan salam”.
وقال تعالى : ( تَحِيَّتُهُمْ يَوْمَ يَلْقَوْنَهُ سَلَامٌ ) .
Allah juga berfirman yang artinya, “Penghormatan bagi mereka pada hari mereka berjumpa dengannya adalah ucapan salam”.
وقال النبي صلى الله عليه وسلم : ( ألا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم، أفشوا السلام بينكم ).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kutunjukkan kepada kalian suatu amalan yang jika kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai. Amalan tersebut adalah sebarkanlah ucapan salam di antara kalian”.
فالسلام إنما يكون بين المسلمين ، ولا يكون السلام على الجمادات والخرق ونحوها ، لأنه دعاء بالسلامة من الآفات ، أو هو اسم من أسماء الله يدعو به المسلم لأخيه المسلم عليه ليناله من خيراته وبركاته .
Ucapan salam hanya diberikan kepada sesama kaum muslimin. Ucapan salam tidaklah diberikan kepada benda mati, lembaran kain atau semisalnya karena makna ucapan salam adalah doa agar terhindar dari mara bahaya atau salam merupakan salah satu nama Allah. Dengan ucapan salam tersebut seorang muslim mendoakan saudaranya agar mendapatkan kebaikan dan keberkahan.
والمراد بتحية العلم الآن الوقوف إجلالاً وتعظيماً له ، وهذا هو الذي أفتت اللجنة الدائمة بتحريمه لأنه وقوف تعظيم .
Yang dimaksud dengan hormat bendera pada saat ini adalah berdiri dalam rangka memuliakan dan mengagungkan bendera. Inilah yang difatwakan oleh Lajnah Daimah sebagai perbuatan yang haram karena ‘berdiri’ di sini dilakukan dalam rangka pengagungan.
فإن قيل : إن في تحية العلم احتراماً لشعار الحكومة .
Jika anda yang mengatakan bahwa dengan menghormati bendera berarti kita menghormati simbol negara.
فنقول : نحن نحترم الحكومة بما شرعه الله من السمع والطاعة بالمعروف والدعاء لهم بالتوفيق ،
Jawaban kami adalah kita menghormati negara dengan cara yang diajarkan oleh Allah yaitu dengan mendengar dan taat dengan aturan negara yang tidak bernilai maksiat serta mendoakan para aparatur negara agar selalu mendapatkan bimbingan dari Allah.
واللجنة حينما تبين هذا للمسلمين إنما تبين حكماً شرعياً يجب علينا جميعاً حكومة وشعباً امتثاله ، وحكومتنا – حفظها الله وبارك فيها – هي أول من يمتثل ذلك . هذا ما أردت بيانه خروجاً من إثم الكتمان ” انتهى من جريدة الجزيرة عدد 11989 يوم الثلاثاء 20/6/1426هـ ، ونشر بموقع” شبكة نور الإسلام”.
Ketika Lajnah Daimah menjelaskan hukum hal ini kepada kaum muslimin, Lajnah Daimah hanya bermaksud menjelaskan hukum syariat yang kita semua baik pemerintah atau rakyat berkewajiban untuk mentaatinya (bukan untuk membangkan terhadap pemerintah, pent). Pemerintah kita (baca: Arab Saudi) adalah pihak yang pertama kali mentaati fatwa Lajnah Daimah di atas. Inilah yang ingin aku jelaskan supaya aku tidak terjerumus dalam dosa menyembunyikan ilmu”. Demikianlah penjelasan Syaikh Shalih al Fauzan yang terdapat di koran al Jazirah edisi 11989 yang beredar pada hari Selasa 20 Jumadil Tsani 1426 H dan dipublis di internet sebagaimana link di atas.
وعليه ؛ فإذا أردت العمل في الجيش فتجنب القيام بهذه التحية .
Berdasarkan uraian panjang lebar di atas maka jika anda ingin bekerja sebagai tentara maka jauhilah cara penghormatan yang telah dibahas di atas”.
Sumber:
Penjelasan Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid di link berikut ini
http://islamqa.com/ar/ref/130805/%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%84%D9%85
Artikel www.ustadzaris.com

Jumat, 16 Juli 2010

CARA TERMUDAH MENGHAFAL AL-QURAN

Oleh: Asy-Syaikh Dr. Abdul Muhsin Muhammad Al-Qasim, imam dan khathib di Masjid Nabawi.

Segala pujian hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya, dan para sahabat seluruhnya.
Keistimewaan metode ini adalah seseorang akan memperoleh kekuatan dan kemapanan hafalan serta dia akan cepat dalam menghafal sehingga dalam waktu yang singkat dia akan segera mengkhatamkan Al-Quran. Berikut kami akan paparkan metodenya beserta pencontohan dalam menghafal surah Al-Jumuah:
  1. Bacalah ayat pertama sebanyak 20 kali.
  2. Bacalah ayat kedua sebanyak 20 kali.
  3. Bacalah ayat ketiga sebanyak 20 kali.
  4. Bacalah ayat keempat sebanyak 20 kali
  5. Keempat ayat di atas dari awal hingga akhir digabungkan dan dibaca ulang sebanyak 20 kali.
  6. Bacalah ayat kelima sebanyak 20 kali.
  7. Bacalah ayat keenam sebanyak 20 kali.
  8. Bacalah ayat ketujuh sebanyak 20 kali.
  9. Bacalah ayat kedelapan sebanyak 20 kali.
  10. Keempat ayat (ayat 5-8) di atas dari awal hingga akhir digabungkan dan dibaca ulang sebanyak 20 kali.
  11. Bacalah ayat pertama hingga ayat ke 8 sebanyak 20 kali untuk memantapkan hafalannya.
Demikian seterusnya pada setiap surah hingga selesai menghafal seluruh surah dalam Al-Quran. Jangan sampai kamu menghafal dalam sehari lebih dari seperdelapan juz, karena itu akan menyebabkan hafalanmu bertambah berat sehingga kamu tidak bisa menghafalnya.

JIKA AKU INGIN MENAMBAH HAFALAN PADA HARI BERIKUTNYA, BAGAIMANA CARANYA?
Jika kamu ingin menambah hafalan baru (halaman selanjutnya) pada hari berikutnya, maka sebelum kamu menambah dengan hafalan baru dengan metode yang aku sebutkan di atas, maka anda harus membaca hafalan lama (halaman sebelumnya) dari ayat pertama hingga ayat terakhir (muraja’ah) sebanyak 20 kali agar hafalan ayat-ayat sebelumnya tetap kokoh dan kuat dalam ingatanmu. Kemudian setelah mengulangi (muraja’ah) maka baru kamu bisa memulai hafalan baru dengan metode yang aku sebutkan di atas.

BAGAIMANA CARANYA AKU MENGGABUNGKAN ANTARA MENGULANG (MURAJA’AH) DENGAN MENAMBAH HAFALAN BARU?
Jangan sekali-kali kamu menambah hafalan Al-Qur`an tanpa mengulang hafalan yang sudah ada sebelumya. Hal itu karena jika kamu hanya terus-menerus melanjutkan menghafal Al-Qur’an hingga khatam tapi tanpa mengulanginya terlebih dahulu, lantas setelah khatam kamu baru mau mengulanginya dari awal, maka secara tidak disadari kamu telah banyak kehilangan hafalan yang pernah dihafal. Oleh karena itu metode yang paling tepat dalam menghafal adalah dengan menggabungkan antara murajaah (mengulang) dan menambah hafalan baru. Bagilah isi Al-Qur`an menjadi tiga bagian,yang mana satu bagian berisi 10 juz. Jika dalam sehari kamu telah menghafal satu halaman maka ulangilah dalam sehari empat halaman yang telah dihafal sebelumnya hingga kamu menyelesaikan 10 juz. Jika kamu telah berhasil menyelesaikan 10 juz maka berhentilah menghafal selama satu bulan penuh dan isi dengan mengulang apa yang telah dihafal, dengan cara setiap hari kamu mengulangi (meraja’ah) sebanyak 8 halaman.
Setelah selesai satu bulan kamu mengulangi hafalan, sekarang mulailah kembali dengan menghafal hafalan baru sebanyak satu atau dua lembar tergantung kemampuan, sambil kamu mengulangi setiap harinya 8 halaman hingga kamu bisa menyelesaikan hafalan 20 juz. Jika kamu telah menghafal 20 juz maka berhentilah menghafal selama 2 bulan untuk mengulangi hafalan 20 juz, dimana setiap hari kamu harus mengulang (meraja’ah) sebanyak 8 halaman. Jika sudah mengulang selama dua bulan, maka mulailah kembali dengan menghafal hafalan baru sebanyak satu atau dua lembar tergantung kemampuan, sambil kamu mengulangi setiap harinya 8 halaman hingga kamu bisa menyelesaikan seluruh Al-Qur’an.
Jika anda telah selesai menghafal semua isi Al-Qur`an, maka ulangilah 10 juz pertama secara tersendiri selama satu bulan, dimana setiap harinya kamu mengulang setengah juz. Kemudian pindahlah ke 10 juz berikutnya, juga diulang setengah juz ditambah 8 halaman dari sepuluh juz pertama setiap harinya. Kemudian pindahlah untuk mengulang 10 juz terakhir dari Al-Qur`an selama sebulan, dimana setiap harinya mengulang setengah juz ditambah 8 halaman dari 10 juz pertama dan 8 halaman dari 10 juz kedua.

BAGAIMANA CARA MERAJA’AH AL-QURAN (30 JUZ) SETELAH AKU MENYELESAIKAN METODE MURAJA’AH DI ATAS?
Mulailah mengulangi Al-Qur’an secara keseluruhan dengan cara setiap harinya mengulang 2 juz, dengan mengulanginya 3 kali dalam sehari. Dengan demikian maka kamu akan bisa mengkhatamkan Al-Qur’an sekali setiap dua minggu.
Dengan metode seperti ini maka dalam jangka satu tahun (insya Allah) kamu telah mutqin (kokoh) dalam menghafal Al-Qur’an, dan lakukanlah cara ini selama satu tahun penuh.

APA YANG AKU LAKUKAN SETELAH MENGHAFAL AL-QUR’AN SELAMA SATU TAHUN?
Setelah menguasai hafalan dan mengulangInya dengan itqan (mantap) selama satu tahun, hendaknya bacaan Al-Qur’an yang kamu baca setiap hari hingga akhir hayatmu adalah bacaan yang dilakukan oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam- semasa hidup beliau. Beliau membagi isi Al-Qur`an menjadi tujuh bagian (dimana setiap harinya beliau membaca satu bagian tersebut), sehingga beliau mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam sepekan.
Aus bin Huzaifah -rahimahullah- berkata: Aku bertanya kepada para sahabat Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, “Bagaimana caranya kalian membagi Al-Qur`an untuk dibaca setiap hari?” Mereka menjawab:

نُحَزِّبُهُ ثَلَاثَ سُوَرٍ وَخَمْسَ سُوَرٍ وَسَبْعَ سُوَرٍ وَتِسْعَ سُوَرٍ وَإِحْدَى عَشْرَةَ سُورَةً وَثَلَاثَ عَشْرَةَ سُورَةً وَحِزْبَ الْمُفَصَّلِ مِنْ قَافْ حَتَّى يُخْتَمَ

“Kami membaginya menjadi (tujuh bagian yakni): Tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan hizb al-mufashshal yaitu dari surat Qaf sampai akhir (mushaf).” (HR. Ahmad no. 15578).
Maksudnya:
  • Hari pertama: Mereka membaca surat “al-fatihah” hingga akhir surat “an-nisa`”.
  • Hari kedua: Dari surat “al-maidah” hingga akhir surat “at-taubah”.
  • Hari ketiga: Dari surat “Yunus” hingga akhir surat “an-nahl”.
  • Hari keempat: Dari surat “al-isra” hingga akhir surat “al-furqan”.
  • Hari kelima: Dari surat “asy-syu’ara” hingga akhir surat “Yasin”.
  • Hari keenam: Dari surat “ash-shaffat” hingga akhir surat “al-hujurat”.
  • Hari ketujuh: Dari surat “qaaf” hingga akhir surat “an-nas”.
Para ulama menyingkat bacaan Al-Qur`an Nabi -shallallahu alaihi wasallam- ini menjadi kata: ”فَمِي بِشَوْقٍ“. Setiap huruf yang tersebut menjadi simbol dari awal surat yang dibaca oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pada setiap harinya. Maka:
  • Huruf “fa`” adalah simbol dari surat “al-fatihah”. Maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari pertama dimulai dari surah al-fatihah.
  • Huruf “mim” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari kedua dimulai dari surah al-maidah.
  • Huruf “ya`” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari ketiga dimulai dari surah Yunus.
  • Huruf ”ba`” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari keempat dimulai dari surah Bani Israil yang juga dinamakan surah al-isra`.
  • Huruf “syin” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari kelima dimulai dari surah asy-syu’ara`.
  • Huruf “waw” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari keenam dimulai dari surah wash shaffat.
  • Huruf “qaaf” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari ketujuh dimulai dari surah qaf hingga akhir muashaf yaitu surah an-nas.
Adapun pembagian hizib yang ada pada Al-Qur an sekarang, maka itu tidak lain adalah buatan Hajjaj bin Yusuf.

BAGAIMANA CARA MEMBEDAKAN ANTARA BACAAN YANG MUTASYABIH (AYAT YANG MIRIP) DALAM AL-QUR’AN?
Cara terbaik untuk membedakan antara dua ayat yang kelihatannya menurut kamu hampir sama (mutasyabih), adalah dengan cara membuka mushaf dan carilah kedua ayat tersebut. Lalu carilah perbedaan antara kedua ayat tersebut, cermatilah perbedaan tersebut, kemudian buatlah tanda/catatan (di dalam hatimu) yang bisa kamu jadikan sebagai tanda untuk membedakan antara keduanya. Kemudian, ketika kamu melakukan murajaah hafalan, maka perhatikanlah perbedaan tersebut secara berulang-ulang sampai kamu mutqin dalam mengingat perbedaan antara keduanya.

BEBERAPA KAIDAH DAN KETENTUAN DALAM MENGHAFAL AL-QUR`AN:
  1. Kamu harus menghafal melalui bantuan seorang guru yang bisa membenarkan bacaanmu jika salah.
  2. Hafalkanlah 2 halaman setiap hari: 1 halaman setelah subuh dan 1 halaman setelah ashar atau maghrib. Dengan metode seperti ini (insya Allah) kamu akan bisa menghafal Al-Qur`an secara mutqin dalam kurun waktu satu tahun. Tetapi jika kamu memperbanyak kapasitas hafalan setiap harinya maka kemampuan menghafalmu akan melemah.
  3. Menghafallah mulai dari surat an-nas hingga surat al-baqarah karena hal itu lebih mudah. Tapi setelah kamu menghafal Al-Qur`an maka urutan meraja’ahmu dimulai dari Al-Baqarah sampai An-Nas.
  4. Dalam menghafal hendaknya menggunakan satu mushaf saja (baik dalam cetakan maupun bentuknya), karena hal itu sangat membantu dalam menguatkan hafalan dan agar lebih cepat mengingat letak-letak ayatnya, ayat apa yang ada di akhir halaman ini dan ayat apa yang ada di awal halaman sebelahnya.
  5. Setiap orang yang menghafal Al-Qur’an pada 2 tahun pertama biasanya apa yang telah dia hafal masih mudah hilang, dan masa ini disebut fase at-tajmi’ (pengumpulan hafalan). Karenanya janganlah kamu bersedih karena ada sebagian hafalanmu yang kamu lupa atau kamu banyak keliru dalam hafalan. Ini adalah fase yang sulit sebagai ujian bagimu, dan ini adalah fase rentan yang bisa menjadi pintu masuknya setan untuk menghentikan kamu dari menghafal Al-Qur`an. Tolaklah was-was tersebut dari dalam hatimu dan teruslah menghafal, karena dia (menghafal Al-Qur`an) merupakan perbendaharaan harta yang tidak diberikan kepada sembarang orang.
Artikel dari: http://al-atsariyyah.com/

Minggu, 23 Mei 2010

Angan-anganmu Tak Sepanjang Umurmu

Sudah menjadi fitrah manusia, yaitu ingin memiliki apa yang menjadi keinginannya. Sejak kecil, mungkin sebagian besar dari kita sering ditanya, apa cita-citamu. Ada yang ingin menjadi dokter, insinyur, pilot, polisi dan segudang inpian manusia yang lain. Untuk mengejar impian itu, kita berusaha bersungguh-sungguh melakukan upaya-upaya menuju cita-cita itu.

Sering kita dengan slogan motivasi "Gantungkan cita-citamu setinggi langit". Itu berarti kita diberi motivasi untuk mencita-citakan sesuatu setinggi-tingginya. Kalau bisa jadi orang nomor satu sejagad raya. 

Mencita-citakan sesuatu memang boleh-boleh saja. Apalagi cita-cita tersebut akan mendatangkan manfaat. Namun terkadang kita melampaui batas dalam mengejar cita-cita tersebut. 

Mungkin diantara kita ada yang ingin menjadi pimpinan/pejabat di suatu kantor, dengan harapan dapat memberikan manfaat atau memajukan kantor tersebut. Tetapi dalam perjalanannya kita melanggar batas-batas syar'i yang telah digariskan. Misalnya, demi mencari simpati dari atasan, kita rela mengorbankan sholat berjamaah di masjid ketika kita sedang ada rapat. Sehingga kita sholat tidak tepat waktu dan tidak berjamaah, bahkan mungkin ada yang tidak sholat (na'udzubillah). 

Mungkin juga diantara kita ada yang ingin meningkatkan kemampuannya dengan mengikuti belajar di luar negeri, yang mungkin sebenarnya tidak perlu belajar ke luar negeri, sebab ilmu yang dipelajari tersebut ada juga di dalam negeri. Seandainya kita pelajari kriteria belajar di luar negeri, terutama di negeri kufar, maka mungkin kita akan dapati kalau kita tidak memenuhi kriteria kebolehan belajar di luar negeri tersebut. 

Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan pelanggaran syar'i yang kita lakukan dalam rangka mengejar impian/cita-cita kita.

Sebagai sorang muslim, tentuya kita harus sadar, bahwa cita-cita tertinggi kita adalah mendapatkan rahmat Allah di akhirat, sehingga kita dimasukkan ke dalam lautan kenikmatan dan kebahagiaan tanpa batas, yaitu syurga. Cara yang harus kita lakukan adalah dengan menuntut ilmu syar'i, sehingga kita mengetahui jalan-jalan menuju syurga dan juga jalan-jalan yang dapat menjauhkan kita dari syurga.

Akan tetapi, kita hidup di dunia nyata, dimana kita juga memerlukan fasilitas-fasilitas yang Allah sediakan di dunia. Maka boleh-boleh saja kita meraih apa yang kita inginkan dari kehidupan dunia ini, selama tidak melanggar batas-batas syar'i.

Untuk hidup di dunia, kita butuh makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan lainnya. Itu semua memang kita butuhkan, bahkan kita cita-citakan. Mungkin kita mencita-citakan untuk memiliki sebuah rumah atau bahkan lebih, kendaraan, dan segudang keinginan kita dari kenikmatan dunia ini. Namun, apakah kita sadar bahwa kita hanyalah numpang lewat di dunia, yang kemudian kita akan meninggalkannya. Kematian akan memutuskan cita-cita kita di dunia. Lalu kita menuju cita-cita yang sesungguhnya di kampung akhirat. Mungkin masih banyak keinginan/cita-cita kita yang belum terpenuhi. Cita-citamu di dunia tak sepanjang umurmu.

RAIHLAH APA YANG ALLAH SEDIAKAN DI NEGERI AKHIRAT, TETAPI JANGAN LUPAKAN DUNIA YANG KAU BUTUHKAN.

Telah berlalu orang-orang terdahulu, yakni Rosullullah dan para sahabatnya. Banyak di antara mereka yang hidup bergelimang harta, tapi hati mereka tetap tertuju pada kehidupan akhirat yang kekal dan abadi.

Ya Allah.... berikanlah kami kebaikan hidup di dunia dan dia akhirat. Amin.


Senin, 08 Maret 2010

Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan

Manusia sejak dilahirkan ke dunia tak membawa apa-apa, selembar kain pun tidak dia bawa. Detik demi detik, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, waktu terus berjalan. Dia pun tumbuh menjadi manusia dewasa. Dari dia dilahirkan sampai dewasa itu, dia telah banyak merasakan asam garam kehidupan. Telah banyak nikmat yang dia rasakan. Kesehatan, kesempatan, kekayaan, jabatan dan berbagai nikmat lainnya. Namun ketika dia ditimpa musibah, kebangkrutan, sakit, dipecat dari pekerjaannya dan sebagainya. Dia lupakan semua kenikmatan yang telah didapat sebelumnya. Dia mengeluh kepada Dzat yang Maha Pemberi Nikmat. Bahkan dia mungkin tererumus ke dalam kemaksiatan, dia tidak bersabar terhadap apa yang menimpanya. Padahal, kalau dihitung-hitung, nikmat yang dia dapat tidaklah terhitung jumlahnya.
Ketika kaya, dia lupa kepada yang memberi kekayaan. Namun ketika dia jatuh miskin, dia mengeluh atau bahkan mencaci Sang Pemberi Rizki. Berusaha meraih kembali kekayaanya meskipun dengan cara yang haram. Dia minta-minta ke tempat "pesugihan", ke gunung ini dan itu. Tak lupa dia pun medatangi para kiyai yang merangkap sebagai dukun, minta dilancarkan segala urusannya.

Ketika sehat, dia lupa kepada yang memberi kesehatan, baru ketika sakit dia mencari kesembuhan dengan berbagai cara yang bathil. dia datang ke para dukun atau para normal, berobat dengan kesyirikan. Dia lupakan Dzat Yang Memberi Kesehatan.
Demi Allah, Iblis laknatullah beserta bara tentaranya akan senantiasa menjerumuskan manusia ke jurang api neraka. Mereka sanggup menipu daya orang awam hingga orang alim sekalipun. Salah satunya dengan kufur terhadap nikmat Allah.
Hanya kepadaMu kami memohon pertolongan. Tunjukkanlah yang benar itu benar, dan berilah kekuatan kepada kami untuk mengikutinya. Tunjukkanlah yang bathil itu bathil, dan berikanlah kekuatan kepada kami untuk menghindarinya.
Kami memohon ampun kepadaMu atas segala dosa yang telah kami perbuat. Tetapkanlah kami dalam hidayahMu, agar kami tetap istiqomah di jalanMu hingga ajal menjemput kami. 
Jadikanlah kami dan anak cucu kami orang yang dapat mensyukuri segala nikmatMu.

Amin.

Rabu, 03 Februari 2010

PAJAK

Salah satu pendapatan negara kita bersumber dari pajak. Menurut definisinya, pajak adalah iuran masyarakat kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan tanpa imbalan secara langsung. Dari definisi tersebut, dapat kita pahami bahwa pajak dipungut dengan paksa. Sehingga tidak heran kalau secara naluri, masyarakat baik perorangan maupun kelompok tidak suka membayar pajak. Oleh karena itu banyak dijumpai perusahan-perusahan yang membuat laporan keuangan yang beragam. Untuk keperluan pembayaran pajak, mereka memperkecil keuntungan perusahaan dan memperbesar biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Sedangkan untuk keperluan para kreditor, mereka membuat yang sebailiknya. Dengan membayar pajak, sudah tentu akan mengurangi pendapatan/keuntungan. Sedangkan tujuan perusahaan yang terbesar adalah mencari keuntungan.

Saya teringat ketika masih duduk di bangku kuliah tingkat I, kira-kira 8 tahun yang lalu. Dosen pajak saya mengatakan dengan lantang bahwa "PAJAK ADALAH RAMPOK". Kalau difikirkan, hal itu memang benar dan sesuai dengan definisi pajak itu sendiri. Maka tak heran kalau pajak itu digambarkan oleh orang sebagai gunting yang memotong uang, hantu yang mengintai tabungan, dan sebagainya.

Seandainya, tidak ada pajak, alangkah enaknya. Semua barang tentu lebih murah dibandingkan kalau dikenakan pajak. Bayangkan saja, harga kendaraan impor itu setengahnya bahkan mungkin lebih merupakan pajak. Kalau harga mobil Rp 150 jt, kita bisa hitung harga sesungghnya itu cuma berkisar Rp 70 jt-an.

Di masyarakat ada ungkapan bahwa "DARI LAHIR SAMPAI MATI KENA PAJAK". Ungkapan itu kalau kita telusuri ternyata ada benarnya. Barang atau jasa atas kelahiran seorang bayi sudah terkena pajak, begitu juga barang/jasa atas kematian seseorang.

Kalau kita perhatikan, penerimaan terbesar negara kita adalah dari sektor pajak. Hal ini terlihat dari APBN kita dari tahun ke tahun. Untuk meningkatkan pendapat pajak, pemerintah kita melakukan berbagai upaya, salah satunya adalah dengan memberi tambahan penghasilan kepada para pegawai pajak, dengan tujuan untuk mengurangi kebocoran penerimaan pajak.

Lalu bagaimana pandangan Islam terhadap pajak?

Para ulama kita telah membahas masalah pajak lengkap dengan dalil-dalilnya, baik melalui pengajian, buku, majalah, bahkan internet. Setelah kita telusuri penjelasan para ulama dari berbagai media tersebut, kita akan dapatkan kesimpulan yang menyatakan pengharaman pajak yang dipungut dari masyarakat. Diantara dalil pengharamannya adalah hadits-hadits Nabi yang secara makna sebagai berikut:
  • Pada masa Nabi SAW ada seorang wanita melapor kepada Nabi SAW kalau dia telah berzina, dia sangat ingin untuk diampuni dosanya. Kemudian ditegakkanlah hukuman rajam atasnya. Setelah itu Nabi bersabda " Seandainya para pemungut pajak itu mau bertobat sebagaimana wanita itu niscaya akan diampuni".
  • Nabi SAW bersabda bahwa nanti ketika Isa putra Maryam turun di akhir zaman, dia akan menghancurkan salib, memberantas pajak dan menumpas babi.
Sebenarnya pemerintahan kaum muslimin boleh memungut pajak, yaitu kepada orang-orang kafir dalam bentuk JIZYAH sebagai jaminan keamaman, dan ketika negara sangat membutuhkan dana/ krisis yang dapat dipungut kepada masyarakat termasuk kaum muslimin. Jadi memungut pajak kepada kaum muslimin hanya ketika dibutuhkan saja, bukan terus menerus. Oleh karena itu memungut pajak kepada kaum muslimin dapat dikatakan mengambil harta secara tidak haq (dholim), maka para pegawai pajak terkena hukum itu, yaitu berbuat dholim kepada saudara sesama muslim.

Lalu bagaimana sikap kita sebagai warga negara?

Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadist yang secara makna; taatlah kepada pemimpin kalian meskipun pemimpin kalian mencambuk dan mengambil harta kalian, mintalah hakmu kepada Allah, pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawabannya.  Jadi kita tetap harus bayar pajak dengan terpaksa.

Bagaimana solusi bagi pemerintah kaum muslimin dalam menyikapi hal ini?

Pemerintahan muslim hendaknya:
  • menghapus pajak yang dibebankan kepada kaum muslimin, karena diakhirat akan dimintai pertanggungjawaban.
  • menggiatkan memungut zakat dari kaum muslimin yang kaya lalu dibagikan kepada yang berhak. Kalau ada sisa zakat dapat dimasukkan ke kas negara sebagai dana operasional pemerintah.
  • tetap memungut pajak (jizyah/upeti) kepada orang kafir sebagai jaminan keamanan dan perlindungan mereka hidup di negeri kaum muslim.
  • menyimpan harta rampasan perang dan rampasan lainnya ke kas negara.
  • kalau diperlukan, dapat berinvestasi dan berbisnis.


Selasa, 05 Januari 2010

Arti Sebuah Nama


Kita sering mendengar orang berkata "apalah arti sebuah nama". Mungkin ada yang bilang nama itu tidak penting atau kurang penting. Mungkin juga sebaliknya, ada juga yang bilang nama itu sangat penting untuk membedakan antara orang satu dengan yang lain, untuk memanggil dan sebaginya.

Nama bukan hanya diberikan pada manusia. Sebagian orang pun ada yang memberi nama pada hewan peliharaanya. Kucingnya dia beri nama "pussy" atau "caty". Kudanya dia beri nama "jawara". Bahkan anjingnya dia beri nama "doggy" dan sebaginya.

Setiap orang, dari zaman dahulu sampai sekarang, pasti memiliki nama. Mungkin kita tidak akan mendapatkan orang tanpa nama. Manusia itu kan makhluk sosial. Untuk memanggil satu dengan yang lainnya tentu menggunakan namanya.

Mungkin tidak ada atau jarang sekali ada orang yang bertanya kepada orang tuanya, kenapa dia diberi nama si A atau si B. Orang tua pada umumnya memberikan nama kepada anaknya dengan nama-nama yang menurut mereka bagus dan indah. Sangat jarang kita temui orang tua yang memberikan nama kepada anaknya dengan nama yang buruk. Orang memberikan nama kepada anaknya dengan nama-nama yang baik dengan harapan anaknya itu jadi orang baik. Ada yang memberikan nama anaknya dengan nama "selamet" dengan harapan anaknya itu selalu berada dalam keselamatan. Ada yang memberikan nama anaknya dengan nama "Bagus" dengan harapan anaknya kelak berperilaku bagus. Dan sebagainya.

Kalau kita perhatikan, ternyata nama itu ada yang merupakan doa yang diberikan orang tua kepada anaknya. Namun sayang seribu kali sayang, ada sebagian orang yang memberikan nama kepada anaknya dengan nama  orang-orang tidak baik, seperti para artis yang menjadi idolanya, dengan harapan anaknya itu kelak bisa terkenal seperti artis tersebut, yang sebagian besar para artis tersebut mempunyai sikap dan perilaku yang buruk, misalnya suka mengumpar aurat dan sebagainya.

Lalu bagaimana tuntunan agama mengenai pemberian nama? Kalau kita pelajari lebih dalam, ternyata Islam telah mengajarkan kepada kita supaya kita memberikan nama kepada anak-anak kita dengan nama-nama yang baik. Bahkan sebagian ulama ada membuat pembahasan tersendiri mengenai nama-nama yang baik. Nama yang baik menurut Islam adalah nama yang tidak mengandung arti keburukan, kejahatan, tidak juga berlebihan. Dalam hadits diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mengganti nama beberapa sahabatnya yang mengandung arti yang tidak baik, diganti dengan nama yang mengandung arti yang baik. Di riwayat yang lain disebutkan bahwa sebaik-baik nama adalah "Abdullah (Hamba Allah), dst. ". Di antara nama yang baik yang lainnya menurut Islam adalah nama-nama Nabi dan orang-orang sholeh.

Dalam Islam, kita juga dilarang untuk memberikan nama kepada anak kita dengan nama-nama Allah, misalnya Ar-Rohman, Al-Aziz dst. Kalaupun kita mau memberikan nama kepada anak kita dengan nama-nama Allah, maka sebelumnya ditambahkan kata "Abdun (hamba)". Misalnya: nama Allah, Ar-Rohman, kita tambahkan menjadi Abdurrohman, dst.

Kalau kita terlanjur memiliki nama yang kurang baik, kita diperbolehkan mengganti nama kita atau kita menggunakan "kunyah" kita. Misalnya nama kita "paijo" atau "tukiyem" yang kita tidak sreg dengan nama itu, kita boleh menggunakan kunyah "Abu Ihsan" kalau nama anak pertama kita "Ihsan", "Abu Aisyah" , kalau nama anak pertama kita "Aisyah" dst.

Meskipun kita telah mempunyai nama yang baik, tetapi kita memiliki nama panggilan yang buruk, hendaknya kita perbaiki nama panggilan kita, karena menurut Islam, di akhirat nanti kita akan dipanggil dengan nama panggilan kita. Dan kita dilarang untuk memanggil orang dengan panggilan yang buruk.